Selasa, 11 Agustus 2015

Mendaki Kesedihan

sajak: Bagus Dwi Hananto, komunitas sastra Jenang


bagai hujan tak berhenti menempuh jatuh ke dunia
mataku meneteskan kesedihan hingga engkau berpaling
menemukan lobang gelap nan dalam di hati aku
tak dapat dicegah lagi oleh masa lalu kesekian percintaan

oleh panggilan bisu namaku yang tenggelam di hatimu
kesedihan hanya butuh dimengerti sebagai mataair
membelah dirinya ribuan kali hingga engkau ada di sana:
mengucap perpisahan, menertawakan ingatan
ingatan yang berbicara tentang hujan di hitam dadaku

lihatlah seseorang mati berkali-kali diceburkan kata-katanya!
tanpa kehendak, seakan takdir membawa aku ke dasar
menyelami sungai-sungai pucat dimana opelia mengapung
dan membekap tubuh aku, kesedihan abadi ribuan tahun
seperti sendiri memanggul dosa berulang kali. seperti sisifus
yang tak diampuni oleh kelalaiannya: itulah kesalahan cinta



2014




Sebuah Cerpen James Joyce

Araby


oleh: James Joyce


Jalan North Richmond, sebuah jalan buntu, adalah jalan lengang kecuali pada waktu Sekolah Christian Brothers memulangkan para siswanya. Sebuah rumah lantai dua tak berpenghuni berdiri di ujung jalan buntu, terpisah dari tetangga sekeliling di petak itu. Rumah- rumah lain di jalan itu, mencerminkan hidup yang layak di dalamnya, berhadapan satu sama lain dengan muka kecoklatan.

            Penyewa rumah kami terdahulu, seorang pendeta, menghembuskan napas terakhir di belakang ruang tamu. Udara , pengap dari rumah yang telah lama tertutup, mengambang di seluruh ruangan, dan di belakang tempat sampah dapur itu berserakan dengan kertas yang sudah lama tidak berguna. Di antaranya aku menemukan beberapa buku bersampul dengan halaman-halaman melengkung dan basah: The Abbot, oleh Walter Scott, The DevoutCommunnicant dan The Memoirs of Vidocq. Aku suka yang terakhir karena kertasnya kuning. Kebun belakang rumah ditumbuhi pohon apel dan semak-semak dan di bawah salah satunya aku menemukan pompa-sepeda berkarat. Dia telah menjadi pendeta yang sangat dermawan; dalam wasiatnya ia telah mewakafkan semua uangnya pada institusi dan perabotan rumah untuk adiknya.

            Ketika hari-hari pendek musim dingin datang, senja angslup sebelum kami menyelesaikan makan malam kami. Ketika kami bertemu di jalan, rumah-rumah nampak kian suram. Langit luas di atas kami adalah warna yang selalu berubah ungu dan ke langit itu lampu jalan memendarkan cahaya pucatnya. Udara dingin menyengat kami dan kami bermain sampai tubuh kami menghangat. Teriakan kami bergema di jalan lengang itu. Selama bermain kami melewati jalur berlumpur gelap di belakang rumah-rumah tempat kami berlari dari serangan suku kasar dari pondok,  menuju pintu belakang yang berada di  taman gelap berbau busuk meruap dari corong abu, ke kandang berbau tempat seorang kusir merapikan dan menyisir kuda sembari mengguncangkan suara dari tali kekang yang melengkung. Ketika kami kembali ke jalanan, cahaya dari jendela dapur telah menerangi komplek itu. Jika pamanku terlihat berbelok ke sudut jalan, kami bersembunyi di sepanjang bayangan rumah sampai kami melihatnya telah sampai di rumah dengan aman. Atau jika saudari Mangan yang keluar di depan pintu untuk memanggil saudaranya minum teh, kami cuma mengawasinya di bayan-bayang tempat kami sembunyi naik dan turun jalan. Kami menunggu untuk melihat apakah dia akan tinggal di luar atau masuk dan, jika dia tetap, kami meninggalkan persembunyian dan berjalan ke arah jenjang tangga rumah Mangan dengan lega. Dia sedang menunggu kami, sosoknya terpancar kala sinar dari pintu yang setengah terbuka. Saudaranya selalu menggodanya sebelum ia masuk ke rumah dan aku berdiri di jenjang tangga, menatapnya. Gaunnya berayun saat ia menggerakkan tubuhnya dan pita rambutnya menggelora perlahan-lahan.

            Setiap pagi aku berbaring di lantai di ruang tamu depan mengawasi pintunya. Kutarik gorden sampai menutupi dan tersisa satu inci dari bingkai sehingga aku tidak terlihat. Ketika dia keluar di depan pintu, hatiku melompat. Aku berlari ke beranda,kuambil buku-bukuku dan mengikutinya. Aku terus ikuti sosok cokelat itu selalu di mataku dan, ketika kami mendekat dalam titk tempat kami menyimpang, aku  mempercepat langkahku dan melewatinya. Hal ini sering terjadi setiap pagi. Aku tidak pernah berbicara dengannya, kecuali untuk kata-kata santai sedikit, namun namanya seperti panggilan kepada segenap  jiwaku.

Bayangnya menemaniku selalu bahkan di tempat-tempat yang paling tak berkesan romantis. Pada tiap Sabtu malam ketika bibiku pergi berdagang, aku harus pergi membawa beberapa hadiah. Kami berjalan melalui jalan-jalan benderang, berdesak-desakan dengan laki-laki mabuk dan wanita yang sedang tawar menawar, di tengah umpatan para buruh, litani melengking anak laki-laki penunggu toko yang berdiri menjaga buah-buahan, nyanyian penyanyi jalanan yang menyanyikan datang-semuanya- lagu O'Donovan Rossa, atau balada tentang masalah di tanah kelahirannya kami. Suara-suara ini berkumpul di satu sensasi hidup bagiku: Aku membayangkan bahwa aku menyunggi piala misa berdesakan melalui kerumunan musuh. Namanya muncul di bibirku pada saat doa-doa aneh dan pujian dilantunkan yang aku sendiri tidak mengerti. Mataku sering penuh air mata (aku tidak tahu mengapa) dan pada waktu bah dari hatiku sepertinya tercurahkan keluar dadaku. Aku pikirkan sedikit masa depan. Aku tidak tahu apakah aku akan pernah berbicara dengannya atau tidak, atau jika aku berbicara kepadanya, bagaimana aku bisa menceritakan kekaguman yang membingungkan ini. Tapi tubuhku seperti kecapi dan kata-katanya dan gerak tubuh yang seperti jari-jari yang memetiknya.

            Suatu malam aku pergi ke belakang ruang tamu di mana pendeta itu telah meninggal. Itu adalah malam yang gelap dan hujan menyisakan sunyi di rumah. Melalui salah satu panel yang rusak aku mendengar hujan luruh ke bumi, jarum sengitnya tak berhenti menghunjam ke permukaan yang basah. Beberapa lampu di kejauham atau jendela yang terang berpendar di hadapanku. Aku sangat bersyukur bahwa aku bisa sempat sedikit melihatnya. Semua inderaku tampaknya berkeinginan untuk menutupi diri mereka sendiri dan, merasa bahwa aku akan menyelinap dari mereka, aku menekan telapak tanganku bersama-sama sampai mereka gemetar, dan bergumam: "Oh cinta! Oh cinta! "Berkali-kali.

            Akhirnya dia berbicara kepadaku. Ketika dia mengatakan kata-kata pertama padaku aku sangat bingung sebab aku tidak tahu harus menjawab apa. Dia bertanya apakah aku akan pergi ke Araby. Aku lupa apakah aku menjawab ya atau tidak. Ini akan menjadi pasar malam yang berkesan, dia bilang dia ingin pergi.

"Dan mengapa kamu tak datang?" Aku bertanya.

Sementara ia berbicara ia memutar-mutar gelang perak di pergelangan tangannya. Dia tidak bisa pergi, katanya, karena akan ada retret minggu di biaranya. Saudaranya dan dua anak laki-laki lainnya yang berkelahi untuk topi mereka dan aku sendirian di jenjang tangga rumahnya. Dia memegang salah satu ujung pagar rumah, menundukkan kepalanya ke arahku. Cahaya dari lampu yang menentang pintu kami menangkap lipatan putih lehernya, menyala legam rambutnya yang berdiam di jenjang leher itu dan, jatuh, menerangi tangannya di ujung pagar rumah. Tangan itu jatuh di salah satu sisi gaunnya dan menyentuh putih rok dalamnya, hanya terlihat saat ia berdiri tenang.

"Malam itu pasti menyenangkan untukmu," katanya.
"Jika aku datang," kataku, "Aku akan membawakan sesuatu."

Betapa kebodohan tak terhitung mengganggu terjaga dan tidurku setelah malam itu! Aku berharap dapat memusnahkan kebosanan yang menyusup dalam hari-hariku. Aku mengabaikan tugas-tugas sekolah. Pada malam hari di kamar tidurku dan siang hari di dalam kelas bayang-bayangnya datang di antara lembar halaman yang sedang kubaca. Suku-suku kata Arabyberdengung kepadaku melalui keheningan dimana jiwaku sedang menikmati dan menangkap pesona ketimuran di atas kepalaku. Aku meminta izin untuk pergi ke pasar malam pada Sabtu malam. Bibiku terkejut dan berharap itu bukan untuk urusan persekutuan Freemason. Aku menjawab beberapa pertanyaan di kelas. Aku melihat wajah guruku mulai dari ramah dan berubah jadi  tegas; dia berharap aku tidak mulai melamun. Aku tidak dapat memanggil pikiranku yang tengah mengembara kemana-mana. Aku hampir tidak sabar dengan tugas hidup yang serius, yang saat ini berdiri di antara raga dan keinginanku,yang tampak bagiku sekadar permainan anak-anak, permainan anak-anak yang menjenuhkan.

Pada hari Sabtu pagi aku mengingatkan pamanku bahwa aku ingin pergi ke pasar malam di malam hari. Dia rewel di samping kapstok baju, mencari sikat topi, dan menjawab pernyataanku:
"Ya, bocah, aku tahu."

Saat ia berada di ruang tamu aku tidak bisa masuk ke ruang depan dan berbaring di dekat jendela. Aku meninggalkan rumah dalam humor yang buruk dan berjalan perlahan menuju sekolah. Udara sangat buruk dan hatiku mulai was-was.

Ketika aku datang ke rumah untuk makan malam pamanku belum tiba ke rumah. Saat itu masih sangat pagi. Aku duduk menatap jam untuk beberapa waktu dan. ketika detak detiknya mulai menggangguku, aku meninggalkan ruangan. Aku menaiki tangga dan mencapai loteng. Ruangan yang dingin dan suram membebaskan aku melenggang sepuasnya dari ruang demi ruang sambil bernyanyi. Dari jendela depan aku melihat teman aku sedang bermain di jalanan. Pekikan mereka mengacaukan pikiran dan kemudian melemah hingga tidak jelas dan, bersandar dahiku pada kaca dingin, aku memandang rumah yang gelap di mana dia tinggal. Aku mungkin telah berdiri di sana selama satu jam, tanpa melihat apa-apa selain sosok kecokelatan yang dihadirkan oleh imajinasiku, tersentuh perlahan-lahan oleh cahaya lampu pada lipatan lehernya, pada tangan yang menyentuh pagar dan bagian bawah gaun itu.

Ketika aku datang turun lagi aku mendapati Nyonya Mercer duduk di dekat pediangan. Dia adalah seorang wanita tua cerewet, janda pemilik rumah, yang mengumpulkan perangko bekas untuk beberapa tujuan yang saleh. Aku harus menahan diri untuk gosip denganya di meja makan.Perjamuan telah ditunda lebih dari satu jam dan pamanku masih belum datang. Nyonya Mercer berdiri untuk pergi: ia menyesal bahwa dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi, pada saat itu jam menunjukkan pukul delapan lebih dan dia tidak ingin terlambat karena udara malam yang buruk baginya. Ketika ia pergi aku mulai berjalan naik dan turun ruangan, mengepalkan tanganku. Bibiku mengatakan:

"Aku takut kau mungkin akan menunda menuju pasar malam pada malam ini."

Pukul sembilan aku mendengar pamanku membuka kunci di pintu depan. Aku mendengar dia berbicara sendiri dan kudengar goncangan tongkat gantungan jas saat menerima beban mantel. Aku dapat menafsirkan tanda-tanda ini. Ketika kami makan malam, aku memintanya untuk memberiku uang untuk pergi ke pasar malam. Namun paman lupa.

"Orang-orang saat ini sudah di kasur mereka dan setelah itu kini mereka tidur," katanya.

Aku tidak tersenyum. Bibiku mengatakan kepadanya penuh semangat:
"Tidak bisakah kau memberinya uang dan membiarkan dia pergi? Kau telah membuatnya cukup terlambat seperti itu. "

Pamanku mengatakan dia sangat menyesal bahwa dia lupa. Paman mengatakan ia percaya pada pepatah lama: "Terus belajar dan tanpa bermain membuat Jack jadi anak yang membosankan". Dia bertanya padaku ke mana aku akan pergi dan, ketika aku mengatakan kepadanya untuk kedua kalinya dia lalu bertanya padaku apakah aku tahu Salam Perpisahan gaya Arab pada Kudanya. Ketika aku meninggalkan dapur ia hendak memulai membaca bagian pembuka kutipan itu kepada bibiku.

Aku memegang uang koin dengan erat di tanganku sambil melangkah ke Buckingham Street menuju stasiun. Jalan-jalan penuh sesak dengan pembeli dan menyilaukan dengan gas asap yang membawa balik ingatanku pada tujuan perjalananku. Aku mengambil tempat duduk di gerbong kelas tiga dari kereta yang sepi. Setelah penundaan yang tak tertahankan kereta bergerak dari stasiun dengan perlahan. Kereta merayap maju di antara rumah-rumah yang rapuh dan melewati Sungai yang airnya berkelap-kelip. Di Westland Row Station kerumunan orang saling dorong di pintu kereta; tapi penjaga memindahkan mereka kembali, mengatakan bahwa itu adalah kereta khusus untuk pasar malam. Aku tetap sendirian di kereta yang lengang. Beberapa menit kemudian kereta melaju di atas jalanan kayu yang tiba-tiba. Aku melonggokkan kepalaku pada saat kereta melaju dan melihat sekilas jam sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Di depanku berdiri sebuah bangunan besar yang terpampang nama anehnya.

Aku tidak menemukan pintu masuk dengan harga karcis enam penny dan, takut pasar akan segera tutup, aku melewati dengan cepat melalui sebuah pintu putar, menyerahkan uang shilling kepada seorang pria yang tampak kumal. Aku menemukan diriku berada di aula besar yang setengah tingginya dipenuhi oleh galeri. Hampir semua kios ditutup dan sebagian besar dari lorong itu dalam kegelapan. Aku merasakan keheningan seperti itu melingkupi gereja setelah kebaktian. Aku berjalan ke tengah pasar malam dengan takut-takut. Beberapa orang berkumpul sekitar warung yang masih terbuka. Di hadapan tirai, di bawah kata-kata Cafe Chantant yang ditulis dalam lampu berwarna, dua orang sedang menghitung uang di sebuah talam. Aku mendengarkan jatuhan koinnya.

Mengingat dengan susah payahnya aku datang ke pasar malam lantas akupergi ke salah satu kios dan mengamati vas-vas porselen dan nampan the berbunga. Di pintu kios seorang wanita muda sedang berbicara dan tertawa dengan dua pria muda. Aku mengetahui aksen Inggris mereka dan mendengar samar-samar percakapan mereka.

"Oh, aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu!"

"Oh, tapi kau!"

"Oh, tapi aku tidak!"

"Apakah dia tidak mengatakan itu?"

"Ya. Aku mendengarnya. "

"Oh, itu. . . dusta! "

Ketika melihat aku wanita muda itu lalu datang dan bertanya apakah aku ingin membeli sesuatu. Nada suaranya tidak menggembirakan; ia tampaknya berbicara kepadaku karena dari tanggung jawab tugasnya. Aku melihat dengan kagum pada guci besar yang berdiri seperti penjaga Timur di kedua sisi pintu masuk gelap kios dan bergumam:

"Tidak, terima kasih."

Wanita muda itu mengubah posisi dari salah satu vas dan kembali ke dua pemuda tadi. Mereka mulai berbicara tentang subjek yang sama. Sekali atau dua kali wanita muda melirikku dari bahunya.

Aku berlama-lama di kiosnya, meskipun aku tahu keberadaanku di sini tidak berguna, untuk membuat minatku dalam barang-barangnya tampak lebih nyata. Lalu aku berbalik perlahan dan berjalan di tengah pasar malam. Aku membiarkan dua sen jatuh berjejalan di atas enam pence di sakuku. Aku mendengar panggilan suara dari satu ujung galeri yang lampunya padam. Bagian atas dari lorong itu sekarang benar-benar gelap.

Menatap ke dalam kegelapan aku melihat diriku sebagai makhluk didorong dan dicemooh oleh kesombongan; dan mata terbakar dengan penderitaan dan kemarahan.



Biodata Pengarang : James Joyce, lahir di Rathgar, kota Dublin, Irlandia, pada  Februari 1882. Karya-karyanya yang terkenal antara lain novel A Potrait of the Artist as a Young Man (1916), Ulysses (1922), kumpulan cerpen Dubliners (1914) dan yang dikerjakannya berpuluh tahun: Finnegans Wake (1939).

diterjemahkan secara bebas oleh Bagus Dwi Hananto (dikenal pula dengan nama Bagus Burham) dari
https://ebooks.adelaide.edu.au/j/joyce/james/j8d/chapter3.html



Minggu, 20 Juli 2014

Pak Tua dan Cicak-cicak Di Dinding

  PAK TUA DAN CICAK-CICAK DI DINDING(Radar Surabaya,6 Juli 2014)

cerpen : Bagus Burham

“Dancuk!” seru Pak Warsito sambil merasa keparat tak bisa meludahi kepala seekor cicak di dekat jam dinding. Ruangan yang berfungsi sebagai kamar tidur itu jelas tidak menyerupai tempat tidur yang layak bagi orang lanjut usia sepertinya. Buku-buku mengelilingi sebuah tikar seperti ritual dengan Pak Warsito berada di tengah-tengahnya. Ia akan memposisikan buku-buku itu seperti begitu meski harus merobohkan salah satu sisinya jika ada keperluan di luar kamar tidur istimewanya. Ia akan menata sambil menyerambulkan kata-kata ajaib seperti “asu” dan “dancuk”. Buku-buku yang sudah dikumpulkannya dari usia remaja sampai sekarang merupakan penggenapan cita-cita luhurnya kelak jika tanda-tanda kematian telah datang padanya : membakar semua buku tersebut.

Cita-cita itu sudah diangan-angankan Pak Warsito mulai ketika ia mengkoleksi buku pertama sampai buku kesekian. Sebab ia merasa bahwa buku-buku tidak pernah dibaca. Buku-buku di perpustakaan kotanya tidak ada yang menyentuh untuk membacanya. Daripada terlantar tidak ada yang mengurus lebih baik ia bakar dan mereka semua akan dirawat di sorga kelak dengan Pak Warsito sebagai penjaga dan pembacanya.

  Cerita tentang Pak Warsito yang lebih khas lagi adalah kesenangannya meludahi cicak-cicak di dinding. Dengan tembakan air liur yang seperti pelor dilontarkan dari pistol,ia mampu menjatuhkan musuh-musuh di dinding itu. Rumah penuh bekas ludahannya di dinding-dinding,dan para warga hanya memaklumi hal tersebut sebagai tanda bahwa usia tua berdampak pada kondisi kejiwaan. “Suara cicak dan jam dinding selalu sama dan seperti mengejekku. Cicak dapat kubunuh,namun waktu tak bisa kubunuh—ia abadi.” Pak Warsito selalu menjawab segala pertanyaan tentang mengapa ia meludahi cicak-cicak di dinding dengan jawaban tersebut.

Sebenarnya seorang istri pernah dipunyai Pak Warsito namun sudah dua puluh lima tahun ia pergi tak tentu rimbanya. Tanpa kabar apapun,tanpa kejelasan apapun,ia pergi begitu saja. “Seseorang yang sudah mati di dalam hatiku.”

  Sebatang kara hidup Pak Warsito hanya dihabiskan dengan membaca buku dan naik sepeda onthel mencari buku bekas di pasar-pasar loak. Selain sebagai petani dengan sepetak tanah berukuran dua puluh lima meter persegi saja yang entah karena apa selalu subur dan penuh dengan berbagai macam tumbuhan sayur. Pak Warsito dengan tubuh kurus dan kulit lentur yang sudah ditanggalkan kegagahan prianya,merasa bahwa tanah yang dimilikinya sudah dianugrahi karena ia seseorang yang rajin mencari ilmu dengan membaca. “Seperti kecambah yang selalu tumbuh subur,ilmupun memiliki khasiatnya pada lingkungan sekitar.”

***

Tembakan-tembakan ludah mulai dilancarkan Pak Warsito di dinding rumahnya. Malam hari setelah lirih suara adzan isya’ menggema. Dari doa yang dipanjatkan dan terkabulkan : segerombol cicak menempel dinding. Pak Warsito menembak dengan kecepatan luar biasa yang terlontar dari mulut ompongnya. Mulut yang sudah kendur karena kehilangan banyak gigi tetapi tetap semangat menghadapi cicak-cicak di dinding. Satu,dua dan tiga cicak terjatuh dan menggelepar dalam ramuan bacin air liur Pak Warsito. Kegembiraan yang dirayakan dengan tarian di atas mayat-mayatnya.
Jika sudah letih menembaki cicak-cicak di dinding,maka Pak Warsito akan rebah di kamarnya,mengejap-kejapkan matanya tanpa pernah bisa tidur karena insomnia akut yang telah ia derita selama tiga puluh tahun membuatnya selalu merindukan mimpi. Tapi hal aneh dari insomnia itu adalah bahwa ketika fajar sudah mulai nampak di langit,Pak Warsito seperti mendapat kekuatan baru meski tidak tidur. Keletihan sebagaimana orang yang memiliki penyakit itu tidak pernah ia rasakan walaupun sudah tidak tidur selama tiga puluh tahun lebih. Matanya seakan diperbarui dari hari ke hari padahal aktifitas membacanya membutuhkan fokus lebih dan melelahkan mata. Ajaibnya ia hanya membaringkan tubuh dua-tiga jam dan bangun tanpa keletihan yang membekas.

Ia selalu merasa bahwa semua cicak bersembunyi di belakang jam dinding dan memainkan sebuah koor yang menggodam telinganya dengan suara detak-detik sepanjang malam. Tapi berkali-kali ia ungkai bagian belakang jam dinding,tak juga ditemukan. Cicak-cicak seperti ditabur oleh seseorang dan tiba-tiba menempel di dinding. Serambul cicak akan ada begitu saja jika malam sudah menampak dan Pak Warsito merasa bahwa waktu adalah cicak itu sendiri yang terus berkembang biak agar kesenangan membunuhinya dapat terlampiaskan sebagai perasaan tak sanggup menaklukkan waktu itu sendiri.

***

Hari ini anehnya tak satupun cicak muncul di dinding seperti biasanya. Pak Warsito telah menunggu-nunggu hingga berjam-jam dari pagi sampai larut malam dan merasa kecewa. “Barangkali waktu telah menariknya dariku agar ia sendiri yang perlu melawanku,” pikir Pak Warsito. Cicak-cicak di dinding tiba-tiba menjadi sesuatu yang ia rindukan semalam itu lebih dari mimpi. Ia merasa sangat cemas;mondar-mandir mengamati dinding-dinding sampai fajar datang. Merasa ditipu ia putar balik jam dinding lebih cepat dua belas jam. Dengan begini malam akan lebih cepat datang. Memang benar,tiba-tiba langit seperti sudah pekat hitam meski waktu sebenarnya adalah tengah hari. Dan ajaib,cicak-cicak datang lagi untuk ditembaki peluru-peluru ludah Pak Warsito.

Semenjak jam di dindingnya diputar lebih,malam selalu datang awal dan berlangsung sangat lama yaitu mulai dari jam dua belas siang sampai fajar menggantikan. Orang-orang merasa ini akibat daripada pemanasan global yang diakibatkan oleh asap industri-industri kapital padahal ini adalah perbuatan waktu yang terkurung dalam jam dinding di kamar tidur Pak Warsito. Aksi menembak cicak-cicak di dinding tak surut dengan fenomena alam ini,bahkan tambah menggila dan makin jitu. Dalam satu kali percobaan menembak,langsung saja satu cicak terjatuh dan mampus. Bahkan kini Pak Warsito memiliki kehebatan memecah satu peluru ludah menjadi dua bagian yang mengenai dua sasaran. Entah karena keberpihakan udara di sekitar rumahnya atau magis apa. Sepersekian detik setelah air liur dilontarkan dari mulutnya,tiba-tiba saja memecah menjadi dua bagian yang langsung mengena sasaran. Tak pelak ratusan jiwa cicak-cicak di dinding melayang dalam sebuah adegan berdarah oleh koboi tua yang sudah mendapati tanda kematian pada dirinya yaitu ketangkasannya yang makin menjajam.

Sesuai dengan ikrarnya,ribuan buku kesayangan itu dibakar menjadi abu. Hatinya sudah tidak terbebani lagi dan kedamaian telah datang sebagai persiapan menghadapi kematian. Waktu yang menjemputnya akhirnya datang saat cicak-cicak yang menempel di dinding-dinding sudah tidak ada lagi. Ia baringkan tubuhnya di tikar tempat ia biasa merebah…dan memejam. Ia akhirnya dapat tidur. Tidur untuk selama-lamanya.

***

Hujan turun sudah delapan minggu di kota itu. Orang-orang hanya bisa mengumpat, berserapah sebab tak ada yang bisa dikerjakan untuk kehidupan mereka. Mereka mulai mencari-cari kesibukan dengan menadah air hujan untuk dibuang kembali atau membasuh rumah-rumah dengan air hujan meski hujan sudah membasahi rumah-rumah mereka. Orang-orang menganggur dan seseorang memiliki ide brilian yang diikuti orang-orang di kota itu,untuk meneruskan pekerjaan Pak Warsito yang dulu telah mereka lupakan: menembak cicak-cicak di dinding.

Orang-orang mulai berlatih mengatur kecepatan air liur mereka. Mengatur ketepatan dan ketersampaian ludah mereka pada dinding bagian atas. Mereka langsung menembaki cicak-cicak di dinding. Ratusan kali menembak hanya dua atau tiga cicak yang kena. Tak sehebat Pak Warsito yang mampu melakukan dengan ketepatan luar biasa. Orang-orang menembaki cicak-cicak di dinding dengan kegagalan yang diikuti sebuah serapah “dancuk”.Jika orang-orang menembak dalam waktu yang bersamaan maka akan terdengar sebuah koor pendek yang memanjang keras-keras dengan lirik “dancuk….” yang penuh amarah.



Cerita Tentang Esensi yang Mendahului Eksistensi

-catatan selepas baca


            Di sebuah hari malas seperti hari-hari saya lainnya,tangan saya mencari sebuah buku lama di rak untuk nostalgia membaca. Buku-buku yang saya cintai melebihi kecintaan saya pada diri,terus memanggil nama saya dan waktu terus berputar seperti ingin membunuh jaman. Kemudian pilihan itu jatuh kepada sebuah buku warna kuning dengan sampul bergambar Joker.Buku berjudul "Misteri Soliter" karya Jostein Gaarder. Hal yang membuat saya menyukai kisah ini bukan saja dari takdir yang dijalani bocah kecil dari Norwegia yang mencari Bundanya di dunia mode Yunani,tetapi lebih kepada seorang pelaut tua yang tersesat di pulau ajaib dan menjadi "Tuhan" bagi kartu reminya sendiri. 52 kartu yang awalnya diangan-angankan sebagai manusia,kini berubah jadi hidup senyata manusia. Dalam sebuah kesepian,pikiran bisa terfokus pada khayalan. Dan kesepian Frode membuat kartu-kartunya hidup.Esensi (sebuah idea) yang melahirkan eksistensi mahluk dalam cerita karangan Gaarder tersebut adalah metafora dari (kerja) Tuhan.

            Hal tersebut adalah kebalikan dari diktum sang filsuf raksasa-Jean Paul Sartre. Ya,memang ini cuma sekadar novel surreal yang menceritakan tentang petualangan bocah kecil di sepanjang Alpen dalam perjalanan mencari Bundanya,tetapi lebih dari itu Gaarder mencoba mengira-ngira apa yang dilakukan oleh Tuhan(bagi mereka yang percaya) sebelum menciptakan kita dengan perumpamaan si pelaut tua yang mencintai gagasan bahwa kartu-kartu reminya hidup di dalam alam ideanya. Konklusinya adalah bahwa Tuhan berpikir sebelum menciptakan kita. Mungkin penciptaan itu ia renungkan dalam tempo sesingkat-singkatnya sebelum ia berkata, "jadilah!" Seperti kasus Frode yang mencintai angan-angan bahwa kartu-kartu reminya hidup dan menemani kesepiannya di pulau ajaib dimana ia tidak bisa menembus keluar pulau.Barangkali Tuhan gembira bahwa sesuatu yang bermula dari gagasan(kata) kini menjadi mahluk yang bernama manusia.

           Apakah Tuhan pernah terkejut ketika ciptaannya bisa menyusun dan memberontak kepadaNya. Dan itu diumpamakan Gaarder sebagai sosok Joker. Joker yang bukan dari golongan Wajik,Sekop,Hati ataupun Keriting,memilih memberontak agar abadi. Joker adalah seorang eksistensialis. Etre en soi yang kini mengobjekkan dunia menjelma etre pour soi dalam bahasa Sartre. Joker yang sebelumnya merupakan sesuatu atau mahluk yang diobjekkan Tuhannya(Frode) memilih memberontak dan membunuh tuannya dalam artian 'Tuhan telah mati." Memilih bebas sebebas-bebasnya. Dan inti dari eksistensialisme adalah mengenyahkan mauvaise foi(keyakinan yang buruk) dalam artian percaya pada Tuhan. Manusia total bebas tak mungkin berpegangan dengan keyakinan kecuali dirinya sendiri ;begitulah Sartre pahamkan pada kita. Di buku "Misteri Soliter" sang eksistensialis Joker memang memberontak untuk meraih dunianya sendiri dari Tuhannya yaitu Frode dengan impian ingin melihat dunia luar(dunia di luar pulau ajaib dimana Frode jadi pencipta dan kartu-kartu dihidupkan). Ia tidak mempunyai keyakinan akan Penguasa di atasnya karena ia sendiri hidup mengada dan barangkali eksistensinya mendahului esensi dari diri itu sendiri. Ia sudah berada bagi dirinya meski sebelumnya ia tunduk pada Tuhannya.
  
                

Pertanyaan yang Abadi

-sebuah cerpen asal-asalan- 
ide cerita : Haruki Murakami,George Orwell 
oleh : Bagus Burham 

           Sepasang suami-istri setengah baya tampak sedang ngomel-ngomel di depan penjaga usang di gerbang gedung tua yang sepertinya sudah akan runtuh. Dari jauh, kata-kata yang kutangkap ada ; “pembunuh” , “edan” , “kupecahkan kepalamu!”.

           Dari sini, mereka seperti segumpal noda yang melekat di jalan. Aku tengah bersantai sambil mencatat karakter mobil-mobil yang lewat di jalan. Yah, kesukaan yang aneh; mencatat mobil-mobil yang lewat di jalan. Semisal mobil sedan itu warnanya hitam, sepasang ban depan dengan pelek mengkilap dan terkesan pemiliknya menjaga betul mobil itu sampai terlihat bagus dan nyaman.

Suami-istri itu bergerak menjauhi gerbang, sekarang malah menuju tempatku bersantai. Semakin dekat, mereka tampak seperti orang-orang yang sungguh harus diberi perhatian. Wajah sang Suami memang tampan,tapi ada sebuah lubang hitam besar di atas dahinya. Seakan itublack hole di angkasa. Sementara sang Istri memang biasa saja tapi yang ganjil dari tubuh kurusnya adalah sepasang buah dada sebesar semangka,yang terkesan ia memikul berat yang tak sesuai dengan daya tubuhnya.

Angin membawa debu dan terik menyengat. Untungnya sebatang pohon besar tempatku bersandar menaungi tubuhku dari panas. Siang yang sungguh panas. Pasangan tadi sudah sampai di depanku. Tiba-tiba berkata, “Kau sudah berapa lama di sini?” kata si Suami.

Aku hanya menjawab, barusan saja. Orang itu terus menatapku. “Apa yang kau lihat?” ia bertanya lagi. Aku bilang bukan apa-apa. Sebenarnya memang benar, aku melihat dada istrinya yang tidak proporsional dengan tubuh kecilnya.

Suara keras mobil saling menubruk terjadi selang beberapa menit kami berdiam tanpa kata. Di depan kami, angkutan warna putih dengan sedan. Para penumpang angkutan turun dan pindah lain angkutan. Pengendara sedan itu marah-marah dengan kata-kata awut-awutan yang menyerambul dari mulutnya. Pengemudi angkutan hanya terdiam. Dan di langit sepasang piring terbang lewat sebegitu cepatnya sampai sekedip mata sudah lenyap.

Aku tidak beranjak dari tempat santaiku. Begitu pula Suami-Istri yang masih saja berdiri di depanku. Si Istri dari tadi hanya diam dan si Suami dengan mata jelalatan terus mengamatiku. Edan! Apa yang ia inginkan?
***
Aku tersadar. Tempat ini gelap dan hanya terdiri dari beberapa jendela dan kipas angin menggantung. Tanganku terikat dan mulutku diplester. Aku menjerit sekuat-kuatnya tetapi hanya terdengar gumaman saja. Dari kegelapan di depanku, suara derap kaki orang lebih dari satu semakin mendekat. Kurang ajar! Ternyata sepasang Suami-Istri tadi. Dengan senyum aneh tersungging di wajah si Suami, ia menenteng kerahku erat-erat. “Katakan, apa yang kamu ketahui?” katanya. Perasaanku bingung. Apa yang kuketahui? Aku tidak tahu. Aku tadi hanya duduk bersantai di bawah sebuah pohon, mengamati mobil yang lewat, dan menyaksikan kecelakaan. Apa yang kuketahui?

Ia melepas penutup mulutku. Sekali lagi bertanya tentang apa yang kuketahui. Aku menjawab tidak tahu apa-apa. Sekali lagi ia bertanya apa yang kuketahui. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan apa yang kuketahui.” 

“Apa yang kau ketahui? Jelas, katakan!” pertanyaan si Suami terus membentur telingaku.

“Aku tidak tahu apapun. Aku tadi hanya bersantai di bawah pohon. Kumohon lepaskan aku…”

Dengan pentung hitam seperti yang dimiliki satpam-satpam, si Suami memukuliku lantas bertanya seperti tadi. Aku tidak bisa menjawab. Apa yang kuketahui dan apa yang ingin dia tahu tentang yang kuketahui sementara aku tidak menahu apa maksudnya.

Edan! Tiba-tiba dari sepasang buah dada si Istri keluar orang-orang kecil seukuran jari tengah. Sekitar sembilan orang kecil keluar dan seakan balon udara yang sudah turun dan mengempis, buah dada itu menyusut dan lenyap. Kini aku tidak harus memikirkannya. Yang selanjutnya adalah apa orang kecil itu?

Orang-orang kecil memutariku, serentak bertanya seperti si Suami tanyakan tadi. Pikiranku kacau melihat orang-orang kecil seakan aku adalah pusat ritual dari upacara yang mereka adakan. Di pikiranku terlintas semua hal yang kusaksikan pagi ini sebelum akhirnya bersantai di bawah pohon pada siang yang terik : seorang gadis dengan lekuk tubuh yang bagus di kantor pos, seorang nenek dengan kebungkukan yang mengibakan hati di tepi jalan, mobil-mobil, bayi dalam kulkas di sajak Joko Pinurbo, botol-botol tak terpakai menuju penggilingan jadi biji plastik hingga dua piring terbang melintas cepat di langit, sepasang suami-istri dengan kejanggalan dan tempat di mana aku kini berada.

Aku tidak tahu apapun.
***
“Mobil-mobil yang kuamati! Itulah yang kuketahui.”

“Apa yang kau ketahui?” masih pertanyaan yang sama si Suami terus mendesakku.

“Hanya itu. Aku tidak tahu apapun.”

Dan kehidupan terus berjalan. Di tempat penyekapan ini aku tidak tahu apapun. Orang-orang kecil, si Suami dan si Istri dengan dada yang hilang. Terus-menerus menyiksaku. Yang dilakukan orang-orang kecil masih tetap sama, tanpa berhenti, tanpa jeda: memutariku seakan aku adalah pusat ritual. Apakah ini malam, ataukah siang, aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah usaha untuk menjawab pertanyaan si Suami tentang apa yang kuketahui.

Aku ingin memecahkan kepalaku saja. Meledak dan tidak ada! Kurang ajar!

Orang-orang kecil tak bertambah besar. Semenjak keluar dari buah dada semangka itu, mereka hanya terus memutariku. Bentuk mereka sama semua. Dengan topi kerucut warna hijau dan wajah suram plus senyum aneh seperti yang dipunyai si Suami. Mereka memutariku terus-menerus. Seperti robot yang patuh pada perintah majikannya. Semenjak aku disekap,si Istri tidak pernah berbicara hanya terus menyiksaku secara brutal. Kelaparan, kehausan, rasa ingin kencing dan berak, tidak kurasakan. Seperti sebuah keabadian atau adegan yang diulang-ulang tentang apa yang telah kuketahui yang ingin si Suami ketahui. Aku tidak merasakan apapun selain rasa sakit dan menyerah dari siksaan pertanyaan dan pemukulan yang dilakukan.

***

Aku terbangun dengan kepala pening dan sekujur tubuh sakit bukan main. Masih dengan tali yang mengikat, aku tertinggal sendiri di ruang hampa ini. Orang kecil dan Suami-Istri tadi barangkali  meninggalkanku untuk bernafas sejenak dan bersiap mendapat siksaan atas apa yang kuketahui padahal semua jawabanku sudah jujur kukatakan pada mereka bahwa: aku tidak tahu apa-apa tentang apa yang ingin mereka ketahui.

Kuurutkan kejadian lampau yang kuamati. Entah sudah berapa lama aku disini. Seperti manusia gua dengan bulu lebat di wajah, dan pakaian compang-camping, aku mendekam dalam keabadian penyiksaan.

Mungkin kata-kata mereka kepada penjaga yang kudengar -- “pembunuh” , “edan” , “kupecahkan kepalamu” – adalah yang kutahu akan kusampaikan, bahwa hipotesisku adalah mereka ingin menuntut balas pada penjaga gedung tua yang kuamati itu. Kematian apapun yang ingin mereka balaskan. Tapi mengapa mereka hanya berteriak-teriak dengan patung penjaga gedung yang sudah terkelupas catnya itu, aku tidak tahu. Sebuah patung berdiri tegak seolah menunggu dengan khidmat gedung tua dari waktu ke waktu.

Atau sepasang piring terbang yang melintas. Mereka ketinggalan. Mereka adalah alien? Bumi mereka dihancurkan sekarang ingin menghancurkan bumiku? Lalu apa yang harus kukatakan tentang piring terbang itu. Aku harus bersaksi bahwa aku melihat pesawat mereka dan mereka menyuruhku untuk bungkam. Maka dengan senang hati aku akan bungkam. Lepaskan aku. Aku akan diam selamanya seolah tidak melihat apa-apa.

Kepalaku digodam pertanyaan itu berkali-kali. Pusing dan denging memukul-mukul telingaku seperti ingin menerobos gendang telinga dan mengoyak syaraf-syaraf di dalamnya. “Apa yang kau ketahui? Apa yang kau ketahui?” Pertanyaan gila yang menyiksaku.

Dari jauh lorong tempatku disiksa, gaung pertanyaan itu muncul lagi. Dan sosok yang sudah akrab, datang menjemput korbannya.

“Apa yang kau ketahui?” si Istri tanpa dada, membuatku takjub dengan kalimat pertama yang diucapkannya kali ini.

Orang kecil berhamburan dari arah lorong, ikut menanyaiku. Peluru-peluru pertanyaan menembaki telinga dan otakku. Seperti hujan mengetuk kaca dengan intensitas yang deras dan lama, pertanyaan tersebut mengucur tanpa jeda. Sampai aku tak bisa menjawab. Aku terdiam, mendekam dalam sakit siksaan.

“Ini pistol, dengan peluru pertanyaan yang harus kami tembakkan kepadamu.” Sambil menunjuk mulutnya dengan jari tengah, seakan mengerti isi hatiku, si Suami menegaskan untuk mengorek pikiranku tentang apa yang kuketahui.

Hujan pertanyaan sudah berhenti. Kini mereka menungguku untuk menjawab.

Sambil kesusahan aku menjawab pertanyaan mereka. “Kalian menyuruhku bungkam tentang piring terbang yang mencari kalian melintas di langit. Kalian sepasang alien dengan robot-robot mini. Itulah yang kutahu.”

“Bukan.Bukan itu. Apa yang kau ketahui?” ulang lagi pertanyaan si Suami.

“Bukan? Berarti pasti patung penjaga gedung yang membunuhsesuatu milik kalian? Itulah yang kutahu,” jawabku.

“Tidak.Tidak itu.Apa yang kau ketahui?” kembali si Suami bertanya padaku.

Bukan piring terbang ataupun penjaga gedung. Lantas apa lagi. Aku tidak tahu apapun. “Kumohon lepaskan aku. Aku akan diam saja tentang kalian dan mahluk aneh kalian.” Airmataku berlelehan, merengek seperti bocah yang selalu menangis dan tidak dipedulikan siapapun.

“Tidak bisa,” si Istri mulai berkata lagi. 

***

Kehampaan dan kegelapan bersatu dengan samar cahaya di ruang ini. Sendirian dan kian menyusut untuk dilupakan, aku terus hidup dalam kesakitan.

Aku hanya mampu meronta dan berteriak sekuat-kuatnya. Mungkin saja dengan berteriak orang lain entah di mana sanggup mendengar teriakanku dan mulai mencari diriku. Pemukulan terus mereka lakukan terhadap tubuh ini. Aku pingsan kembali tersadar, pertanyaan yang sama; penyiksaan yang sama. Berulang-ulang dengan tujuan mengorek informasi tentang apa yang kutahu. Sungguh padahal aku tak tahu apapun.
“Apa yang kau ketahui?” tanya si Suami, tersenyum licik dengan semangat ingin menyiksa lagi.
Aku membisu. Menatap balik dengan senyum licik menuju kematian yang tidak kutahu kapan, tapi pasti datang ke sini. []

Sabtu, 10 Mei 2014

Sepenggal Akasia



aku ranting akasia terpelanting ke tubuh sucimu.yang berisi adalah kosong sementara kekosongan selalu berisi.aku mengunyah kulit udara dan serkah ke pangkuanmu semut-semut merayap padakau dari lebar tanganku menjembatani diriku-dirimu oleh semut-semut.barangkali kematian sejengkal tanah yang menidurkan tubuhku,adalah benih tumbuh tersurat ke dalam aku yang memecut keperkasaan menjamah sekian udara dari nasib bulan-bulan.

langit biru masih bermimpi kemarau panjang,melecut tubuhku garing oleh terpaan matari.engkau doa-doa melayang yang jatuh di bawah pohon,menemukan secercah keyakinan
melarung mangkuk ke sungai dan bersumpah ini benar adanya.aku bukanlah bodh gaya tetapi setiap pohon adalah keberkahan yang ditujukan pada tubuhmu untuk istirah

meyakinkan bahwa kehidupan dan kematian secepat rontok daun-daun dan tumbuhnya pohon baru.

bagus burham

Minggu, 23 Februari 2014

Merayakan Seni dalam Kampung


MERAYAKAN KESENIAN KAMPUNG

Pada tanggal 15 Februari 2014,diadakanlah untuk yang pertama kalinya Seni Kampung yang nantinya akan terus diadakan setiap satu bulan sekali di beberapa kecamatan. Visi Seni Kampung adalah mengembalikan kesenian di kampung. Jika sekarang arus modernitas menggerus kebudayaan lama dengan berbagai cara dari ;musik,tutur bicara,dan tontonan maka tugas diadakannya kesenian di desa-desa adalah sebagai pengingat kembali bagaimana kebudayaan membentuk masyarakat desa jaman dulu. Anak-anak sekarang takkan mengenal –yang paling sederhana saja- permainan gundu ataupun gobak sodor,sebab mereka telah teralihkan pada dunia konsep yang maya. Posmodern membentuk diri mereka menjadi antisosial dan tidak melihat realitas di lingkungannya. Akibatnya anak cenderng tidak peka terhadap sekelilingnya. Seni Kampung ingin merubah itu dengan kembali pada yang lama.
                Kegiatan yang dilaksanakan di kecamatan Mejobo tepatnya di desa Golantepus itu,berlangsung semarak oleh kehadiran dari berbagai elemen masyarakat. Acara dimeriahkan tarian-tarian tradisional,pembacaan puisi,dan seni musik dari taman kanak-kanak,sekolh dasar dan kalangan muda dengan klimaks yang riuh pada penampilan Ali Reggae dan kawan-kawan.
                Kesenian di kampung seharusnya lebih menitikberatkan kepada kampung itu mempunyai seni apa untuk ditampilkan tapi masih pada koridor kebudayaan lama bukan budaya modern sekarang. Jika anak-anak ingin menari ala artis luar negeri yang mereka dambakan,dapatlah diberi pengarahan bahwa tarian semacam itu tidak memberikan faedah apapun bagi penontonnya,sebab itu bukan budaya kita. Meski akan terkesan egois dan monoton,untuk mengembalikan budaya yang dulu ada,tapi bukankah itu inti dari kesenian kampung?
                Jika ingin terus menggalakkan seni kampung diharapkan para pelaku budaya dari komunitas yang bersangkutan dapat konsisten menjaga visinya,agar nantinya tidak terkesan sebagai hiburan malam minggu belaka atau acara yang tak ada faedahnya. Jika konsennya pada pengembalian budaya,maka seni yang ditampilkan mesti berbudaya yang sifatnya mendidik. Seni yang dipagelarkan di balai desa Golantepus itu pada segmen pertama sudah memperlihatkan budaya tradisional yaitu tarian-tarian yang diperagakan anak-anak,geguritan,dan puisi.
Panitia penyelenggara Seni Kampung,Sholichudin Al-Gholany membuka dengan pidato,bahwa Seni Kampung diadakan dari rakyat untuk rakyat;bebas politik namun asyik dengan konsep sederhan serawung sedulur. Acara ini digerakkan oleh para pegiat seni muda Kudus yang peduli akan budaya dan kesederhanaan diantaranya dari komunitas Lah dan komunitas sastra jeNang.
                Penampilan penyair seperti Sholichudin Al-Gholany,Ullyl Ch,Arafat AHC,Arif Rahman meskipun telah meriah,namun belum begitu maksimal dengan penampilan musikalisasi puisi. Karena pengumuman pagelaran hanya diumumkan lewat jejaring sosial facebook,sehingg pelau budaya yang datang hanya segelintir saja diantaranya Puji Pistols dan beberapa sastrawan lainnya.

Laporan dari Bagus Burham, kepala suku komunitas sastra jeNang.